Selamat hari Kartini wanita Indonesia. Telat sih sebenarnya, harusnya saya sudah posting tulisan ini 21 april ya haha. Tapi selalu ada alasan “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali” haha. Sebenarnya beberapa hari ini saya ingin fokus menulis sesuatu yang lebih everlast gitu ketimbang menulis opini di blog yang ujung-ujungnya tidak ada yang baca hahaha. Tapi ya sudahlah, daripada terus berputar-putar di kepala mendingan langsung dituangkan saja ya kan hehe. Memang unek-unek ini muncul begitu saja out of nowhere. Inti dari tulisan ini juga sudah saya tuangkan di post instagram saya di bawah ini.
Terjebak dalam simbol
Seringkali kita terjebak dalam simbol-simbol. Kemudian kita lupa esensi dari perayaan itu sendiri. Seperti baru-baru ini terjadi polemik di twitter yang menurut saya malah mengkerdilkan perayaan Hari Kartini menjadi sebatas cara berpakaian. Ya emang ini ulah buzzer sih tapi kalau menurut saya sih yang terjadi di masyarakat juga kurang lebih sama.
Selain simbol-simbol yang sering terjadi adalah terjebak dalam penggunaan istilah. Ada satu post dari blog yang saya ikuti tentang kondisi ini. Kondisi dimana orang-orang terjebak dalam istilah-istilah tentang feminisme dan malah melupakan esensi dari feminisme itu sendiri.
Tentu saja tidk ada yang salah dari simbolisasi perayaan. Saya menganggapnya sebagai pembelajaran. Pertama kita dikenalkan dengan siapakah Ibu Kartini. Tetapi lebih dalam menurut saya adalah bagaimana kita mngimplementasikan nilai-nilai yang diajarkan oleh Ibu Kartini ke kehidupan sehari-hari kita. Jadi bukan sebatas konsep yang abstrak, tetapi sebagai sebuah tindakan. Paa awalnya kita mengenal sebuah konsep dengan simbolisasi, kemudian kita terjemahkan ke semua aspek kehidupan. Apakah kita akan selamanya terjebak dalam simbolisasi? Salam!