Penyakit African Swine Fever (ASF) masih menghantui peternak Babi di Indonesia. Salah satu yang ditengarai menyebabkan sulitnya pengendalian penyakit yang disebabkan oleh virus ASF ini karena belum tersedianya vaksin. Walaupun sejarah penyakit ASF ini sudah cukup panjang, namun hingga tulisan ini ditayangkan belum tersedia vaksin yang efektif.

Dikutip dari web sanidadanimal.info kasus pertama ASF di dunia terjadi di Kenya pada tahun 1921. Baru pada tahun 1957 untuk pertama kalinya terjadi kasus ASF di luar benua Afrika yaitu di Lisbon Portugal. Kasus di Indonesia secara resmi diumumkan pada tahun 2019 di Sumatera Utara. Pada desember 2021 10 dari 34 provinsi sudah terkonfirmasi ASF (Sumber: FAO)

Tantangan Penelitian Vaksin ASF

Penelitian vaksin ASF menjadi sulit karena hingga saat ini masih belum diketahui secara jelas mengenai infeksi dan kekebalan terhadap virus ASF, strain virus ASF dan juga protein yang bertanggung jawab atas terbentuknya kekebalan di dalam tubuh Babi.

Kekebalan terhadap virus ASF masih belum bisa diketahui secara pasti. Seperti pada penyakit virus lainnya bahwa kekebalan humoral (antibodi) dan selular sama-sama penting. Pemberian antibodi ASF secara pasif dalam beberapa publikasi disebutkan bisa melindungi babi dari kematian, tapi sayangnya ini hanya berlaku untuk strain yang homolog. Tidak berlaku cross immunity antar strain. Selain dituntut untuk bisa menggertak sistem kekebalan humoral, kandidat vaksin ASF juga harus bisa memproduksi kekebalan selular.

Kandidat Vaksin ASF

Kendatipun banyak tantangan yang harus segera dipecahkan para ahli mencoba beberapa pendekatan yang bisa dijadikan kandidat vaksin ASF.

Traditional Live Attenuated Vaccine (LAV)

Penggunaan Traditional LAV pada ASF cukup menjanjikan. Babi yang bertahan hidup dari serangan strain moderat mampu mengembangkan imunitas yang baik. Sayangnya imunitas yang dihasilkan hanya homolog. Tidak berlaku cross immunity. Tentunya fakta ini menjadikan kandidat vaksin ini kurang ideal.

Engineered Live Attenuated Vaccine (LAV)

Teknologi genomic juga sudah digunakan untuk mengembangkan vaksin ASF. Teknologi ini digunakan untuk menghapus faktor virulen dari virus ASF wild type. Dengan demikian bisa dihasilkan vaksin yang aman namun menghasilkan antibodi yang tinggi. Untuk meningkatkan keamanan bahkan pada beberapa riset dilakukan penghapusan terhadap beberapa faktor. Namun sayangngya penghapusan multi faktor berefek negatif terhadap efikasi vaksin yang dihasilkan. Tantangan yang dihadapi pada pengembangan vaksin ASF dengan metode ini adalah sisi keamanan dari vaksin yang dihasilkan. Selain itu imunity yang dihasilkan hingga saat ini masih belum bisa melindungi dalam jangka waktu yang lama.

Inactivated Vaccine

Vaksin inaktif merupakan jenis vaksin yang paling sering digunakan dalam pengendalian penyakit baik pada hewan maupun manusia. Demikian juga pada kasus ASF. Vaksin inaktif juga menjadi salah satu kandidat vaksin ASF. Tantangan yang dihadapi oleh vaksin inaktif adalah vaksin ini tidak mampu memproduksi antidi seluler sehingga tidak bisa melindungi babi dari ASF.

Subunit Vaccine

Untuk menutup kelemahan dari vaksin inaktif, para peneliti mencoba untuk mengidentifikasi antigen pada virus ASF yang bisa memproduksi imunitas. Sub unit vaksin merupakan vaksin yang terdiri dari antigen spesifik dari virus ASF yang dibawa oleh media pembawa yang bisa melindungi hewan dari ASF. Sayangnya proteksi yang dihasilkan oleh vaksin ini hanya berkisar 50%.

Kesimpulan

Hingga saat ini masih belum ditemukan vaksin yang bisa melindungi babi dari ASF. Praktik beternak babi yang baik serta biosekuriti yang baik masih menjadi langkah utama untuk mengndalikan kejadian ASF di peternakan Babi.

Referensi

https://doi.org/10.14456/tjvm.2022.1