Inseminasi buatan bukan merupakan barang baru di Indonesia, saya tidak tahu pasti kapan tapi kita semua tahu hal itu. Lalu dari pengalaman kita melakukan inseminasi buatan selama berpuluh tahun apakah anda pernah merasa bahwa pelaksanaan inseminasi buatan di Indonesia terkesan stagnan? Saya juga mersakan hal yang sama. Saya sering bertanya pada diri saya sendiri apa yang salah dari pelaksanaan inseminasi buatan di Indonesia. Yang membuat saya berpikir demikian adalah fakta bahwa produksi sapi di Indonesia yang begitu-begitu saja. Saya mencari jawaban dengan berdiskusi dengan kolega saya yang sudah merampungkan pendidikan tentang reproduksi ternak di Jepang. Jepang sebagai sebagai negara maju yang juga menerapkan Inseminasi buatan. Saya merekam diskusi saya tentang pelaksanaan inseminasi buatan di jepang dalam format podcast. Silahkan klik link di bawah untuk mendengarkan.

1. Sistem rekording Inseminasi Buatan

Sistem rekording atau pencatatan adalah hal yang utama di dalam pelaksanaan inseminasi buatan. Tanpa ada pencatatan yang jelas maka tujuan IB yang salah satunya untuk mencegah terjadinya inbreeding akan mustahil dilakukan. Bukan hanya itu, evaluasi pelaksanaan IB juga bisa dilakukan jika pencatatan atau rekording dilakukan dengan baik.

Sayangnya di Indonesia pelaksanaan rekording ini seerti tidak pernah dilakukan secara serius. Padahal di Jepang pelaksanaan rekording inseminasi buatan ini dilakukan dengan teratur. Mungkin jika kita membandingkan dengan jepang kita akan berpikir bahwa Jepang adalah negara maju dengan teknologi yang sangat canggih. Ternyata dalam melaksanakan rekording inseminasi buatan Jepang hanya menggunakan barcode pada eartag. Berbeda dengan pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang menggunakan RFID. Mungkin kita harus mulai berpikir sesuatu yang sederhana yang penting prinsipnya terpenuhi dan lebih mudah dijalankan.

2. Perencanaan yang matang

Jepang merupakan negara subtropis yang memiliki empat musim. Sehingga pelaksanaan inseminasi buatan pun harus menyesuaikan dengan pergantian musim. Sebisa mungkin pedet lahir di musim semi. Hal ini dimaksudkan untuk memastikan pedet yang lahir mendapat suplai makanan yang cukup. Berbeda degan di Indonesia yang matahari bersinar sepanjang tahun. Seharusnya kita bisa lebih leluasa dalam mengatur dan merencanakan pelaksanaan insmeinasi buatan kita. Tapi sayangnya kita belum melakukan perencanaan yang baik.

Nah, dua hal di atas adalah dua dari sekian banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari negara Jepang dalam pelaksanaan Inseminasi Buatan. Semoga bisa memberikan pandangan baru terkait dengan perbaikan pelaksanaan Inseminasi Buatan di Indonesia. Untuk mendengarkan disusinya secara lengkap silahkan langsung ke Spotify, Google Podacast atau Apple Podcast dengan mengetik “Vet Underrated“. Salam!